Jogja
jokka kuliner
The House of Raminten: Makan Murah di Rumah Ramah
Kalau Jogja
terkenal dengan murahnya, The House of Raminten bisa dijadikan contohnya. Kalau
Jogja juga terkenal dengan ramahnya, si rumah Raminten ini bisa dimajuin juga
jadi salah satu buktinya. Di sini kami menemukan keramahan. Ramah senyum dan
ramah dompet. Untuk ukuran rumah makan atau sekelas kafé di tengah kota, murah
memang harga makanan dan minuman yang ditawarkan di sini. Atau bahkan terlalu
murah, kalau dibandingkan dengan rumah makan dan kafe di Jakarta misalnya. Apalagi
kalau lihat ukuran atau takaran makanan dan minumannya. Banyak yang jumbo.
Di Yogyakarta
sebenarnya ada tiga House of Raminten. Yang pertama ada di Kotabaru, lalu ada
lagi di jalan Kaliurang dan di jalan Magelang (keduanya sempat kami lewati).
Yang kami pilih adalah yang di Kotabaru, Jl. FM Noto no 7. Di pusat kota Jogja.
Selain karena ini adalah tempat pertama dan yang paling recommended, katanya nuansa Jawanya di sini lebih berasa. Juga
karena memang kami kebetulan lagi pas di tengah kota. Pulang dari Malioboro dan
Mirota. Yang ternyata Raminten masih milik orang yang sama dengan pemilik Mirota
(sekarang Hamzah Batik).
Nuansa Jawa
memang sangat berasa di sini. Begitu masuk, tercium semilir bau dupa. Plus
musik gending Jawa jadi backsound di
rumah unik tengah kota ini. Taman hijau dan burung di sangkar, seolah sebagai klangenan
yang menegaskan budaya Jawa di sini. Kereta kencana jadi pajangan utama di
tempat kami menunggu. Menunggu antrean panggilan buat dapetin meja. Frontman alias mas-mas yang berbaju
tradisional Jawa dengan ramah meminta kami untuk duduk menunggu. Untungnya cuma
dua atau tiga nomer antrean lagi. Gak lama, mas-mas ‘gagah’ yang kelihatannya
sangat terawat itu, mempersilakan dan mengantar kami masuk dan menunjukan nomer
meja. Lesehan.
Menu di sini
rata-rata masakan tradisional Jawa. Beberapa malah menu yang biasa ada di
angkringan, seperti sego kucing yang jadi ciri khas. Kami pesan sego kucing
pakte double, sego gudeg komplit, dan sego goreng buat anak-anak. Tambahan
lauknya kami pesan ayam koteka. Minumnya es perawan tancep, es dawet, lemon tea
dan wedang lupa namanya. Semua transaksi berlangsung di tempat, dilayani dengan
ramah sama mbak-mbaknya yang berseragam kemben. Pesan langsung di meja,
dicatat, dihitung, bayar, dan langsung pula kembaliannya diselesaikan di tempat
kami duduk. Lihat hasil penjumlahan si mbaknya, asli memang murah banget. Es Perawan Tancep misalnya cuma
7 ribu. Dan ayam koteka 15 ribu saja.
Karena harganya
murah, tadinya sempat kepikiran makanan dan minuman yang akan datang bakalan
kecil-kecil seiprit. Begitu datang, bujubuneng
ternyata banyak juga, dan terutama minumannya yang segede gaban.
Yang paling
menarik buat kami adalah ayam koteka. Selain namanya yang unik, penyajiannya
juga menarik. Makanan terbuat dari ayam yang dicincang dan dicampur telur ini dimasak
dan disajikan dalam bambu.
Untuk sego kucingnya
sebenarnya kurang pas kalau pakai nama kucing. Bukan karena sudah ditata rapi di atas piring cantik nan elegan. Tapi
karena ukurannya. Kalau lauknya sih
standar nasi kucing, imut. Tapi nasinya
bukan ukuran kucing. Nemplok menggunung. Untung saja cuma pesan pakte double (pakte
= pake telor, lawannya tante = tanpa telor), yang jadinya ada dua gunungan nasi
putih di satu piring. Itu pun nasinya gak habis, salah strategi. Coba bayangin yang pesan sego kucing triple. Bakal ada tiga templok nasi
putih. Harus orang lapar dan kuli banget yang makannya.
Yang paling jumbo
adalah minumannya. Es dawet atau
cendol ini paling susah dihabisin, takarannya jumbo. Gelasnya
sama persis dengan aquarium mini buat ikan cupang yang ada di rumah. Kalau wedang lain dan es perawan tancep gelasnya normal-normal saja. Namanya saja mungkin yang gak
normal. Es Perawan Tancep sebenarnya adalah minuman manis dari susu yang
dicampur sama rempah-rempah, plus ditancep batang sirih (kayaknya) yang sekaligus bisa sekalian buat ngaduk di gelas.
Soal rasa, semua makanan dan minuman di sini, bisa lah masuk hitungan enak. Memang enak, tapi
bukan enak sekali atau istimewa. Tapi kalau lihat ukuran, harga dan suasana,
jadi bisa kedongkraklah soal rasa.
Selain makanan, The House of Raminten juga menjual suasana buat menarik pengunjung. Nuansa tradisional
Jawa jadi andalannya. Bisa terlihat dari ornamen-ornamen yang unik di setiap bagian
ruangannya. Termasuk keunikan dari waiter dan waitressnya, yang seragam memakai
pakaian tradisional Jawa seperti kemben atau kain jarik.
Terlepas dari
cerita-cerita di belakang layar. Keunikan, keramahan dan kemurahan si Raminten
ini mau gak mau membuat The House of Raminten sudah jadi salah satu ikon kuliner
kota Jogja. Tentunya gak ada salahnya juga buat dicoba.
***
0 komentar