Bandung
Jawa Barat
Wiken di Puncak Bandung: Punclut, Bukit Moko, dan Tebing Keraton
Gambar di atas adalah penampakan Kota Bandung dilihat dari kawasan Punclut. Sering bener denger nama Punclut, tapi baru Januari tahun 2017 akhirnya bener-bener menginjakkan kaki ke sini.
Dari sekian banyak destinasi di Bandung, Punclut itu punya spesifikasi khusus. Katanya bagus ke sana kalau pagi-pagi. Artinya ya mesti bangun pagi dan langsung cuss jalan, itu yang susah keluarga kami lakukan kalau pas ada di Bandung.
Semua berawal dari undangan kawinan seorang kawan, yang kita jadikan alasan untuk kembali jalan-jalan ke Kota Kembang. Jadwal pun disusun, tempat mana yang belum pernah dan pengen banget didatengin. List pertama, Bakso Laman Astaghfirullah Aladzim. Warung bakso super gede, gede banget, sampe-sampe satu bakso bisa untuk sekeluarga. Udah gitu gak habis pula, saking besar porsinya.
Bakso Astagfirullah jadi pembuka jalan-jalan di Bandung, karena berlokasi gak jauh dari pintu tol Pasteur. Pintu tol yang biasanya jadi pintu masuk kota Bandung dari arah Jakarta. Kalau masuk mal BTC, tinggal keluar lewat pintu belakang, nyeberang, dan jalan sedikit ke arah kiri. Kalau cari di google maps, alamatnya Jalan Sukawarna no. 21. Dari arah Jakarta, keluar tol Pasteur, mal BTC ada di kanan jalan. Begitu juga jalan Sukawarna. Jadi mesti puter arah sebelum atau di kolong Fly Over Pasopati.
Kita sengaja memilih bakso yang super besar ini. Inilah bakso paling besar yang pernah kita makan, sejauh ini. Kita memang selalu ngiler kalau lihat bakso besar. Bakso tenis, bakso rudal atau bakso lainnya, yang terpampang di balik kaca gerobak tukang bakso, biasanya selalu berhasil membuat kita berhenti mampir, dan nyobain.
Walaupun besar, hampir segede kepala manusia, ternyata bakso Astagfirullah ini tetap enak. Matangnya pas, rata di luar dan isinya. Rasanya gak beda sama yang ukuran kecil atau sedang. Yang beda, cuma sensasinya. Dan tentu saja ukuran dan harganya. Dan kata bapak tukang baksonya, cara masaknya memang khusus.
Malamnya, kami mampir ke Gasibu. Setelah direnov, baru kali ini kami datang lagi. Asik, rapih, ada musala outdoor juga. Enaklah bawa anak kecil. Cuma waktu itu sih menurut saya lampunya kurang terang di pinggir lapangan.
Kami menginap di kawasan Setrasari. Kata suami dari situ gak butuh waktu lama ke Punclut. Esok paginya, gak pake mandi, kami langsung jalan. Sarapan juga nggak. Niatnya emang mau nyari di Punclut. Puncak Ciumbuleuit.
Di sana, terus terang saya malah sempat bingung mau ngapain hehehe... Masih sepi dan lumayan dingin. Gak sedingin yang saya bayangkan sebelumnya. Akhirnya si suami nerusin bawa mobil sampai ke komplek resto Lereng Anteng. Tempatnya instagrammable. Cakep deh buat foto-foto. Sayang bukanya agak siangan. Jadi kita gak bisa sarapan di sini. Lana dan Keano kuciwa hehehehe...
Gak bisa sarapan, jadilah kita cuma nongkrong saja di sini. Menikmati pemandangan Bandung dari sini juga sudah jadi hiburan tersendiri. Dan tentu saja, sayang kalau melewatkan buat foto-foto. Foto-foto dengan perut lapar. Lana dan Keano sempet protes. Tapi janji ngajak makan di tempat lain cukuplah membuat mereka mau difoto dengan ekpresi (disuruh) ketawa.
Soal tempat makan Lereng Anteng ini, seandainya beneran kita bisa makan di sini pasti asik banget. Asal gak panjang aja antriannya. Soalnya curiga pasti rame kalau ada tempat sebagus ini. Dan, ternyata bukan cuma kita saja yang datang kepagian ke sini. Ada kendaraan lain juga yang parkir, dan keluar rombongan dari dalamnya.
Lereng Anteng dan angkringan De BlankOn, memang jadi tempat populer dan favorit di punclut ini. Selalu rame. Nyalip keramaian warung-warung makan 'tradisional' yang sudah ada di sini dari dulu.
Seperti keliatan di foto, spot tempat makannya lucu-lucu. Kebayang kan liat deretan tenda transparan ituh? Makan malam sambil liat bintang would be romantic experience. Jangan bayangin hujan yah, nanti impiannya bubar jalan.
Meninggalkan Lereng Anteng dengan rela gak rela, kami mencari makan di sepanjang jalur Punclut. Kalau sarapan yang kebayang paling nasi uduk, lontong sayur atau bubur kan ya. Seberat-beratnya nasi kuninglah dengan lauk porsi kecil. Tapi jangan bayangin hal itu di Punclut. Jangan pernah ajah.
Soalnya, warung makan yang buka sejak jamnya sarapan ini menawarkan makan lengkap dengan lauk berat. Ayam bakar, ayam goreng, empal daging, aneka ikan, aneka pepes, gorengan tahu, tempe, bakwan, babat, ati ampela, lalap jengkol, pete, macam-macam daun lalap, nasi merah, nasi putih, aneka sambal, ini maaah makan besaar bukan sarapaaan...
Tapi apa daya, emang gitu kalau di Punclut. Ikhlasin aja ya, sarapan dengan berpiring-piring lauk ini. Soalnya semua warung rata-rata menunya begitu. Dan kalau saya bilang makan berpiring-piring ya itu kenyataannya. Gak bisa menolak godaan buat gak nambah. Keano aja makan pakai nasi merah bisa nambah 4 kali. Ini tips ya, saran, atau anjuran deh. Di Punclut khasnya makan pakai nasi merah dan sambal terasi. Jadi kalau kesana jangan lupa pesan kedua menu itu.
Gak sukses buat makan di Lereng Anteng atau De BlankOn, gak membuat nafsu makan turun. Saung Punclut Teh Ita jadi pelampiasan. Pilih tempat makan di atas di lantai dua, sambil memandang kota Bandung. Plus makan lesehan, nambah nikmat makan pagi ala Punclut.
Alhamdulillah, keluar rumah makan, Lana dan Keano aura wajahnya sumringah. Selain kenyang, makan dengan pemandangan Kota Bandung dari ketinggian memang membawa efek bahagia. Apalagi di luar sudah menanti tukang sewa kuda. Impian mereka untuk menjadi joki, untuk sejenak terwujud.
Dari Punclut, kami kembali ke penginapan untuk mandi, check out dan kondangan. Abis kondangan dan makan siang ditukar amplop, lanjut jalan-jalan lagi. Kali ini ke Tebing Keraton.
Perjalanan sekitar 45 menit dari Pasteur, kita sampai di Tebing Keraton jam tiga sore. Pas lah, gak terlalu siang, dan gak kesorean juga. Masih sempat buat jalan kaki.
Bagi saya, Tebing Keraton ini gak cuma soal indah pemandangan, atau segar udaranya. Hal lain yang lebih menonjol di tempat ini adalah, pengunjungnya. Pengunjung plus selfie, jadi hiburan tersendiri di tebing Keraton.
Perjalanan ke Tebing Keraton bisa diliat di sini ajah
Lanjut wisata ketinggian ke Bukit Moko. Ini tempaaat ya.. udah jalannya kecil, gak mulus, berliku-liku, masih banyak juga yang dateng. Sampe parkir aja susah. Semua pengunjung rasanya kayak kami ini, terpengaruh foto di medsos, sehingga penasaran, sampe dateng langsung ke lokasi. Luar biasa memang itu medsos.
Saya gak perlu cerita banyak ya soal Bukit Moko. Udah banyak di pakde Google. Yang pasti kami makan di restoran di situ. Gak mahal sih, tapi rasanya juga gak istimewa banget. Yang mahal ya pemandangan sama pengalamannya.
Saya mau cerita soal tempat nginep kami di Bandung aja. Namanya Rumah Asri Guest House. Seneng banget nginep di sini. Waktu itu kami dapat harga murah, perkamar sekitar 200 ribuan. Gak sampai 300 ribu. Suasananya homey dan bikin betah. Seperti namanya, tempatnya asri. Kami booking di agoda. Tapi belakangan ngecek harga lagi kok jadi mahal tempatnya hihihi.. Mungkin waktu itu kami sedang beruntung. Kalau penasaran monggo cek sendiri harganya.
Di ruang depan, di 'lobby' atau tempat resepsionis disediain buku-buku buat yang mau baca. Buku-bukunya lumayan banyak dan antik-antik. Ada majalah jaman tahun 90-an, atau komik, buku cerita, dan buku-buku lainnya yang lumayan jadul.
Taman-taman di dalam guest house ini yang bikin seger mata. Duduk-duduk sambil bengong jadi kegiatan mengasikkan. Kalau gak mau bengong banget, bisa pesen makan kok, soalnya mereka sedia juga sejumlah menu. Sayang kami gak sempet cobain, soalnya sudah ada jadwal makan siang di tempat kondangan.
Wiken di Bandung, dua hari satu malam plus kondangan, cukuplah bikin seger kita sebelum balik lagi ke pinggiran Ibu Kota. Jalan-jalan, road trip di ketinggian Bandung Utara ini, minimal gak ketemu rutinitas yang sama di Jakarta; macet. Yap, Bandung di wiken, memang gak kalah sama Jakarta kalau soal jalanan macet.
*****
0 komentar