Bromo
Demak
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kudus
Road Trip
Mengawali dari Kota Wali
*Acta diurna road
trip Depok-Bromo-Bali #2
Pernah menonton film di mana ada adegan orang bertapa depan
tongkat di pinggir sungai, dari mulai klimis sampai brewokan dan lumutan? Atau
adegan buah kolang kaling berubah jadi emas. Yap, film Sunan Kalijaga. Itulah adegan
yang terlintas di pikiran saya selain mesjid Agung Demak, kalau menyebut Sunan
Kalijaga.
Dan pagi ini (24 Desember 2014), kami memilih rehat sejenak
di kota Wali. Persisnya di daerah Kadilangu Demak, kawasan makam Sunan Kalijaga,
sunan yang diceritakan di dalam film
sedang bertapa di pinggir sungai. Kami langsung merasakan suasana ramai para
wisatawan dan peziarah yang dari subuh sudah memenuhi kawasan. Ini bisa terlihat
dari mobil dan bis-bis rombongan yang memadati parkiran khusus peziarah. Gak tahu
apa ada atau gak di antara mereka, terlintas adegan bertapa lumutan dan
kolang-kaling berubah emas. Yang ada, kelihatannya mereka sangat serius
berziarah, berdoa dan juga sekedar wisata.
Raden Mas Said atau Sunan Kalijaga, wali ke sembilan Wali
Songo ini memang terkenal sebagai wali yang sangat merakyat. Cara syiar
agamanya pun sangat toleran dan simpatik, menyesuaikan dengan keadaan dan
zaman. Bisa dibilang Sunan Kalijaga adalah Wali Songo dengan rasa wali yang
paling “lokal” atau “paling Jawa”. Gak
heran kalau makam Sunan Kalijaga selalu ramai didatangi peziarah.
Di komplek makam Sunan Kalijaga, kami hanya jalan-jalan saja
di gang atau lorong masuk makam yang banyak dipenuhi kios penjual souvenir. Memutari
kawasan yang juga dipadati rumah penduduk. Dan menunjukkan ke anak-anak Mesjid
Sunan Kalijaga yang dibangun oleh sunan Kalijaga. Hitung-hitung sekalian
pelemasan, peregangan kaki sebelum melanjutkan perjalanan.
Jam sembilan kami meninggalkan Demak. Tujuan berikutnya
adalah Kudus, yang hanya berjarak sekitar 25 km dari kota Demak. Seperti trip dua tahun lalu, mumpung
di Kudus sayang kalau melewatkan Menara Kudus atau Mesjid al-Aqsa. Nama Menara
Kudus memang lebih populer dibanding nama Mesjid al-Aqsa, mesjid bersejarah
peninggalan Ja’far Shodiq alias Sunan Kudus. Sebuah menara yang unik seperti
bangunan candi, tepat berada di depan mesjid, menjadi ciri khas yang sangat
menarik dan fotogenik.
Menara Kudus |
Di belakang mesjid, ada komplek makam Sunan Kudus. Di
komplek makam ini juga ada ratusan makam lainnya dari keluarga, dan sahabat-sahabat
beliau. Karena saat itu suasana ramai, anak-anak jadi penasaran dan akhirnya ikut
arus antrian masuk ke makam Sunan Kudus.
Makam Sunan Kudus |
Dari tiga kali datang di waktu yang berbeda, kompleks Menara kudus ini selalu
ramai. Semakin terlihat padat, karena jalan aksesnya juga terbilang kecil dan
banyak dipenuhi pejalan kaki, kendaraan, dan lapak pedagang. Mulai dari pedagang
makanan, hingga souvenir khas kota Kudus. Belum lagi tempat parkir buat
kendaraan yang terbatas, harus mencari-cari celah di pinggir jalan. Tapi semua
itu gak mempengaruhi keasyikan kami untuk menikmati Menara Kudus. Apalagi jajanan
kaki limanya pun lumayan menarik dan enak-enak.
Mejeng di depan Menara Kudus |
Sebenarnya di Kudus masih ada makam Sunan Muria. Lokasinya di
lereng Gunung Muria, lumayan jauh dari pusat kota Kudus. Tapi karena memang
tujuan kami bukan wisata ziarah, jadi makam Sunan Muria kami lewatkan. Begitu
juga dengan makam-makam wali songo lainnya, yang sebenarnya dilewati selama
perjalanan. Seperti makam Sunan Bonang, yang terletak di pusat kota Tuban,
persis di belakang mesjid Agung Tuban, terlihat jelas dari jalur utama pantura.
Di Tuban kami hanya singgah sebentar di mushola pinggir pantai sebelum masuk kota,
sekalian anak-anak meluruskan badan sambil bermain di pasir pantai.
Begitu juga di Lamongan, kami sempat singgah untuk ganti oli
mesin dan makan soto (pasti asli Lamongan) di Jl. Panglima Sudirman. Bukannya
lebih memilih wisata kuliner dari pada wisata ziarah makam Sunan Drajat di
daerah Paciran Lamongan, tapi memang tujuannya bukan itu. Lain kali lah kalau
anak-anak sudah lebih besar, dan sudah mendapatkan pelajarannya di sekolah.
Sekarang minimal kalau nanti di sekolah ada pelajaran tentang wali songo, anak-anak
jadi tahu dan lebih cepat mengarahkan ingatan soal Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga
dan Sunan Kudus. Karena anak-anak pernah ke sini –plus Sunan Gunungjati di
Cirebon.
Sejarah Wali Songo memang ada sedikit beda-beda teori,
misalnya ada yang menyebut beberapa wali asalnya dari Tiongkok, Timur Tengah,
atau asli Indonesia (Jawa). Tapi biarlah itu nantinya jadi memperluas khasanah
dan menambah keingintahuan lebih anak-anak terhadap sejarah. Jangan sampai seperti
saya dulu, yang sempat ‘terpeleset sejarah’ gara-gara film Sunan Kalijaga.
Tangkapan layar film Sunan Kalijaga |
Di awal film Sunan Kalijaga ada adegan yang menggambarkan ke
sembilan wali duduk bersama dan berjalan keluar dari mesjid Demak. Masalahnya, menurut sejarah kalau ke sembilan wali gak hidup sezaman, apalagi duduk semesjid dan berjalan
beriring-iringan. Lucunya,
adegan serupa pernah saya lihat juga di salah satu program tv, di mana ada
ilustrasi (animasi) ke sembilan wali duduk bersama. Mungkin sang perancang
program, termakan juga oleh adegan di film Sunan Kalijaga, salah satu film
terlaris di tahun 1984 dan film yang membuat ngiler pembuat film lain untuk
membuat film sejenis (wali-walian). Gimana nggak, selain film terlaris kedua
saat itu, film Sunan Kalijaga menyabet banyak nominasi FFI, termasuk kategori pemain,
film terbaik dan skenario terbaik. Walaupun akhirnya hanya mendapatkan piala
untuk kategori poster terbaik dan kategori produser idealis.
Poster Film Sunan Kalijaga |
Setelah sedikit wisata ziarah yang diawali dari kota wali, perjalanan
kami lanjutkan menuju Bromo. Kami sempat terjebak macet di tol Surabaya dan
juga sedikit tersendat di Bangil-Pasuruan. Sedikit tergoda untuk mencicipi lagi
nasi punel Bangil, namun karena sudah makan dan ingin segera sampai di Bromo,
godaan nasi punel dilewatkan. Begitu juga dengan rawon nguling di depan mata. Hampir
tergoda, antara berhenti di kiri masuk rumah makan, atau maju sedikit dan belok kanan naik ke
atas menuju Bromo. Akhirnya kami memilih lanjut, dengan pertimbangan anak-anak
harus tidur yang cukup, karena rencananya jam tiga dini hari mau langsung mengejar
sunrise Bromo.
Bersambung …
***
0 komentar