Bromo
Jawa Timur
Road Trip
Bromo: Sunrise, Kawah, Lautan Pasir, dan Keceriaan Ala Teletubbies
*Acta
diurna road trip Depok-Bromo-Bali #3
Bocah-bocah kecil penjual kupluk mengikuti mobil kami hingga
parkir di depan villa. Mereka masih gigih menawarkan asongannya hingga di depan
pintu penginapan. Gak cuma topi kupluk, di asongannya ada sarung tangan, kaos kaki
dan syal juga. Wajah-wajah yang polos dan jujur itu tetap sopan dan sabar
menanti di depan pintu. Kami beli beberapa kupluk untuk anak-anak. Dan Lana memilih
beli syal buat eyang.
Gak terlalu butuh kupluk dan syal juga sebenarnya, karena kami sudah bawa
sendiri semuanya. Tapi lumayan buat kenang-kenangan dan sekadar lihat ekspresi
senang bocah-bocah yang sudah gigih menjajakan dagangannya. Gak ada saing-saingan
dan rebutan di antara mereka. Malah yang ada saling berbagi menawarkan asongan
temannya yang belum terbeli.
Malam, hampir jam setengah sebelas kami sampai di penginapan,
sebenarnya waktu yang kurang untuk tidur dan bangun lagi jam setengah tiga pagi.
Kami akhirnya permisi dan menutup pintu. Bocah-bocah penjual kupluk meninggalkan
pintu penginapan, dan mencari calon pembeli lainnya. Entah masih ada pembeli lain
atau gak malam itu.
Penginapan yang kami dapat terbilang nyaman dan cukup besar.
Ada enam tempat tidur, di empat kamar tidur. Satu kamar di belakang malah gak
diisi, ini mungkin buat
supir atau ART, karena
terpisah sendiri paling belakang dan dekat dengan kamar mandi. Semuanya pilih
kamar yang di depan dan di tengah. Kamar mandi lumayan besar, bersih, dan air
panasnya lancar. Mau masak atau sekedar rebus mie instan, ada dapur lengkap
dengan kompor gas dan piring gelasnya.
Maksud hati tadinya mau nginap di Cemara Indah atau Bromo
Permai yang sudah kami incar
jika ke Bromo, ternyata semua sudah penuh dipesan berminggu-minggu
sebelumnya. Akhirnya kami dapat penginapan ini, juga booking seminggu sebelumnya. Harganya 850 ribu semalam, lumayan
murah untuk ukuran peak season (25
Desember 2014).
Hampir tengah malam, Lana dan Imbi ternyata masih belum tidur. Mungkin masih ada tabungan tidur sisa di perjalanan tadi. Mereka berdua masih asyik ngobrol dan becanda di “kamar baru” nya yang sempat jadi rebutan waktu bagi-bagi kamar. Di luar, suara motor dan mobil masih sering terdengar berseliweran.
Ketukan pintu jam setengah tiga pagi membangunkan kami. Supir
Jip sudah menjemput, dan memberi waktu 30 menit buat kami siap-siap. Kami
menggunakan dua Jeep
Hardtop yang sudah dipesan jauh hari sebelumnya, dengan harga 800 ribu per
mobilnya untuk empat titik wisata. Kalau bukan musim liburan, harga bisa lebih
murah dari itu.
Berangkat jam tiga dini hari bukan berarti kami termasuk
yang cepat dan terdepan. Ternyata jalanan sudah penuh, padahal masih gelap
gulita. Sedikit macet sama mobil-mobil jenis jip yang juga mau berburu sunrise ke Penanjakan.
Macet juga yang akhirnya membuat kami harus menerima usulan
mas supir jip (lupa namanya) buat
gak lanjut ke Penanjakan. Dari pada terjebak di tengah-tengah dan gak dapat
apa-apa, kami memilih lokasi lain buat melihat matahari terbit. Di Bromo, belakangan
memang tambah banyak spot untuk melihat sunrise,
gak cuma di Penanjakan. Di titik yang lebih rendah dari Penanjakan ini, macet
dan sesak orang, ternyata masih saja berasa.
Masih dalam suasana gelap, kami jalan kaki menaiki
ketinggian. Eyang memilih tinggal dan menunggu di mobil. Sampai di atas, sudah
banyak orang menunggu dengan tujuan yang sama, dan mengambil posisi menghadap
ke arah terbitnya matahari. Di tengah
penantian, Keano sempat-sempatnya BAB hehe. Untung masih pakai diapers dan bawa tisu basah,
plus mengorbankan sebotol air
minum buat wawik.
Matahari yang ditunggu akhirnya keluar perlahan. Sayang,
cuaca agak kurang mendukung. Pemandangan
sunrisenya kali ini gak sebagus dua tahun sebelumnya ketika kami sekeluarga
pertama kali ke sini. Biar begitu, masih tetap
indah. Kami semua anteng menikmati pemandangan dan suasana di ketinggian. Sampai agak sepi, masih tetap
belum mau turun, dan menikmatinya sampai langit benar-benar terang.
Rute selanjutnya setelah sunrise,
adalah ke kawah Bromo. Jip gak boleh mendekat sampai ke kaki Bromo. Semua
kendaraan diparkir di tengah lapangan pasir, dengan pancang besi sebagai batas akhir
buat kendaraan. Giliran kuda yang bisa mengantar hingga ke tangga kawah, atau
jalan kaki. Semakin dekat tangga, harga sewa kuda semakin turun. Mulai dari 100
ribuan sampai menawarkan di bawah 50 ribu rupiah. Kami memilih jalan kaki,
santai, sambil menikmati pemandangan pagi. Gunung Batok, pura, lautan pasir,
juga lautan orang dan mobil jip jadi pemandangan tersendiri yang menarik.
Awalnya saya gak begitu yakin anak-anak bisa sampai di
puncak kawah Bromo. Tangga yang terlihat curam dan panjang, lumayan
memprovokasi mata dan tekad kami, untuk membatalkan ke puncak Bromo. Belum lagi
antrean orang yang
tiada henti menyemut dari anak tangga pertama sampai anak tangga terakhir.
Jalan perlahan, kadang lari sambil main-main dan adu balap
melewati gundukan-gundukan pasir di kiri kanan jalur membuat kami gak berasa
sampai di anak tangga. Antre, sudah pasti. Tapi karena
antrean itu juga, membuat
anak-anak sedikit demi sedikit gak berasa menaiki anak tangga satu persatu
hingga sampai ke puncak. Pengunjung berjejal di pinggir kawah dan jalanan
sempit berbatasan kawah. Hanya Keano, dan Yossie yang saat itu bertugas jadi pengawalnya, yang gak
naik sampai ke puncak. Keano asyik sendiri lari-larian dan sibuk main pasir.
Eyang tetap stand by dan menikmati
suasana kawah Bromo dari
dekat mobil.
Melihat sunrise
dan kawah, sudah. Masih ada dua lokasi lagi yang jadi tujuan kami. Dua tempat
yang populer dan diambil dari nama judul film, Bukit Teletubbies dan Pasir
Berbisik. Nama boleh dari film, tapi ini jauh dari gambaran seperti
wahana-wahana permainan modern yang kini marak.
Yang pertama adalah bukit teletubbies. Nama yang lumayan
menarik buat anak-anak. Tempat ini memang mirip dengan set atau lokasi rumah
teletubbies yang berbukit-bukit. Pemandangannya indah, dengan deretan
bukit-bukit hamparan rumput hijau. Lokasi ini sebenarnya sebuah lembah hijau
yang dikelilingi tebing dan beberapa punggungan bukit kecil. Padang rumput
savana yang hijau ini terasa kontras dengan warna abu-abu atau hitamnya lautan
pasir dan birunya langit. Di sini, anak-anak berlarian menaiki bukit-bukit kecil hijau seperti
halnya Tinky Winky, Dipsy, Laa Laa dan Po.
Di sisi seberang bukit teletubbies, lereng tinggi diselimuti
kabut dan seperti dilapisi awan putih yang semakin lama semakin menipis, menjadi
pemandangan yang gak kalah indahnya. Sinar matahari juga mulai membantu
mengusir dingin. Semakin hangat dengan semangkuk bakso yang murah meriah.
Tujuan terakhir dengan jip di Bromo ini adalah Pasir Berbisik,
sebuah hamparan lautan pasir di sekitar kaldera Bromo. Dibilang lautan pasir,
karena memang sangat luas dengan pasir hitamnya yang sangat lembut. Anak-anak
dilepas di sini juga
gak bakalan khawatir, bebas mau berlarian atau guling-gulingan. Terserah.
Luasnya pasir ini juga seolah menjadi papan tulis terbesar Lana dan Keano buat
menulis, menggambar atau corat-coret dengan sebilah kayu atau bambu.
Dari dua kali ke Bromo bersama keluarga, kalau dari segi rute jip, kami
lebih memlih rute yang pertama yaitu; sunrise
(Penanjakan) – bukit teletubbies – kawah – pasir berbisik. Dibanding rute; sunrise – kawah - bukit teletubis –
pasir berbisik. Perbedaan yang paling berasa adalah ketika di bukit
teletubbies. Apalagi kalau banyak menghabiskan waktu di kawah. Jika lebih awal
ke bukit teletubbies, kami masih bisa melihat bukit-bukit hijau yang lebih
segar dengan sinar matahari yang masih hangat dan kabut-kabut yang masih tebal
di lereng-lerengnya.
Setengah hari penuh di Bromo, dimulai dari jam tiga dini
hari, cukup puas bagi kami menjelajahi titik-titik wisata yang masuk dalam
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini. Bagi anak-anak terutama Keano, scene lain yang paling menarik di Bromo,
selain di empat tempat wisata tadi, adalah ketika perjalanan antar titiknya.
Kebut-kebutan di lautan pasir dan sedikit off
road di jalur ke bukit teletubbies dengan Jeep Hardtop, menjadi hiburan dan menambah keceriaan di sepanjang
jalan.
Ya begitulah Bromo. Dari sisi manapun atau suasana apapun,
buat kami Bromo selalu indah. Walaupun sudah dua kali, dan belum lama dari
Bromo, Lana Keano masih tetap mau dan selalu ngajak buat kembali ke Bromo. Saya
cuma jawab “tenang nak, masih banyak tempat lain di Indonesia dan dunia ini
yang indah. Dan Insya Allah kita akan coba jajaki sebisanya satu per satu, termasuk kembali lagi ke
Bromo” (*NB dalam hati: Dengan
catatan kalau ada umur, ada libur, dan makmur - aka duit).
0 komentar