Bali
Bromo
Luar Jawa
Pantai Pulau
Road Trip
Syarat Sahnya Bali: Surfing di Kuta
*Acta diurna road trip
Depok-Bromo-Bali #4
Keindahan dan keseruan di Bromo masih terasa hingga kami
meninggalkan Probolinggo. Tepat tengah hari, kami turun dari Bromo. Diiringi
hujan deras, mobil meluncur turun di jalanan mulus. Membawa kami dan semua
pengalaman yang menyenangkan tentang Bromo, menuju Bali, dan menjemput
pengalaman lainnya di pulau dewata.
Hujan, dan siang yang sudah lewat, membuat kami lapar. Di daerah
Situbondo kami mengisi perut. Bukan kuliner khas Situbondo memang, karena kami
gak menemukannya di sepanjang jalan. Tapi malah rumah makan Lalapan Kali Khas
Solo. Pilihan yang terseret lapar, dan juga syarat nyaman buat parkir
kendaraan. Ternyata itu bukan pilihan yang salah. Anak-anak lahap makan, rasanya
enak, banyak pilihan mulai dari ikan, ayam, bebek, hingga pecel-pecelan. Dan harganya
pun murah.
Lanjut perjalanan, melewati petang di Baluran (mudah-mudahan
lain kali bisa bawa anak-anak keTaman
Nasional Baluran), akhirnya kami sampai di pelabuhan Ketapang Banyuwangi
sebelum jam delapan malam. Begitu sampai di pos bayar pelabuhan, langsung disambut
dengan antrean kendaraan. Harga tiket penyeberangan dari Ketapang Banyuwangi ke
Gilimanuk Bali adalah 150 ribu per mobil. Antre di pelabuhan selama hampir dua
jam, kami akhirnya masuk juga ke kapal ferry. Malam itu lalu lintas kapal ferry
di Ketapang-Gilimanuk cukup ramai.
Ada yang menarik saat di atas kapal. Kami sangat terhibur oleh aksi penjual yang menawarkan sambil memperagakan satu persatu barang
dagangannya. Jualannya sih standar, kaya barang-barang kelontong.
Mulai dari mainan anak, tas yang bisa berubah-ubah fungsi, hingga
penggaruk gatal di punggung. Tapi gayanya yang kocak, mau gak mau membuat kami,
termasuk anak-anak tersenyum atau tertawa. Dengan pengeras suara nangkring di
mulutnya, dia cuap-cuap sepanjang perjalanan dan membuat hidup suasana.
Lumayan, kaya nonton stand up comedy,
yang termasuk ‘kompor gas’ dan gratis pula. Jadi gak berasa waktu.
Penyeberangan memakan waktu selama satu jam. Yang lama
sebenarnya bukan menyeberangnya, tapi lama karena antre buat sandar di dermaga.
Lewat tengah malam kami sampai di Tabanan, menginap di rumah bude di Jalan Raya
Tanah Lot. Di Bali kami punya waktu selama empat malam, dan hanya tiga hari
penuh yang bisa dipakai buat jalan-jalan, di luar perjalanan datang dan pulang.
Jadi untuk trip kali ini, lupakan diving
di Tulamben, lebih-lebih kehidupan malamnya. Kami hanya memilih lokasi-lokasi wisata yang umum,
dan setidaknya bisa ‘mewakili’ Bali.
Hari pertama di Bali (26 Desember 2014), tujuan utama kami adalah pantai
Kuta. Aneh saja, kalau ke Bali tapi gak ke Kuta. Atau, belum ke Bali kalau
belum ke Kuta. Karena masih siang, kami jalan-jalan ke daerah Uluwatu dulu. Salah
satu yang dituju adalah GWK (Garuda Wisnu Kencana). Begitu sampai di GWK, kami gak
jadi masuk
ke dalam. Karena GWK bukan tujuan utama, dan anak-anak juga gak terlalu antusias
karena maunya ke pantai, akhirnya kami balik kanan. Lihat dari luar saja, yang
penting anak-anak sudah tahu. Lumayan lah jadi irit, save 450 ribu. Harga tiket
masuk per orang ke GWK, 50 ribu untuk dewasa, dan anak-anak 40 ribu. Kalau
turis asing 100 ribu rupiah.
Sore jam tiga, kami sampai di pantai Kuta. Sekarang sudah enak,
gak perlu susah-susah cari parkiran kaya dulu. Anak-anak dan eyang didrop di pinggir pantai, mobil
parkir di Beachwalk Mall. Selain parkir, bisa sekalian sholat di mushola yang
ada di basement.
Namanya lihat pantai, sudah pasti gak bisa direm buat
langsung nyebur. Kami sewa dua papan selancar dan dua body board kecil. Gak cuma kasih sewa, bli atau abang nya juga dengan baik hati mengajari kami surfing. Walaupun ujung-ujungnya, tetap
saja selancarnya ngasal, main gak
jelas, yang penting naik papan dan ikut ombak. Bolak balik anak-anak semangat menarik
dan mengangkat papan, lalu meluncur kembali mengikuti ombak pantai. Sampai-sampai
beberapa kali harus diingatkan biar gak terlalu jauh dan terlalu ke tengah. Pengalaman
surfing di pantai Kuta ini jadi
pengalaman pertama buat Lana Keano. Biasanya kalau ke pantai, hanya berenang, main ombak pakai ban,
atau permainan lainnya kaya banana boat.
Di Kuta, anak-anak
menemukan sensasi lain.
Hari itu cuaca mendung dan sesekali turun hujan. Jadi kami gak bisa duduk santai di atas pasir seperti biasanya. Selama kami bersurfing ria, eyang menunggu di tenda yang banyak berjejer di sepanjang pantai. Harga sewa lupa, kalau gak salah antara 60 ribu atau 100 ribu rupiah. Yang saya ingat harga minuman seperti Coca Cola, Fanta atau Green tea dan minuman lainnya di tenda itu dipukul rata, 20 ribu per botolnya. Namanya setelah main di pantai, sudah pasti haus, ada minuman dingin pasti diembat habis.
Langit mulai gelap, cuaca masih agak mendung. Kami sudahi ‘surfing’ dan main-mainnya. Bilas juga mandi di tempat bilas dan kamar mandi yang disediakan di pinggir pantai. Bersamaan dengan matahari yang mulai terbenam, maka dengan ini sah lah kalau anak-anak sudah menginjak Bali. Tapi hari itu sunsetnya gak terlalu bagus. Gak ada matahari bulat utuh yang pelan-pelan hilang di garis cakrawala laut Kuta. Tapi warna jingga dari matahari masih ada, dan tetap indah menghiasi langit Kuta.
0 komentar