Blitar
Borobudur
Itinerary
Jawa Tengah
Jawa Timur
Jogja
Malang
Mesjid Tiban
Road Trip
Sidoarjo
Solo
President Malang Tiban Borobudur
*Acta diurna road trip
Depok-Bromo-Bali #6
“8 th
hidupku menderita.... ”
“A.R. Bakrie Mana Rumahku? Bayaren utangmu “
“Presiden
SBY janjinya mencla mencle...”
“Jokowi:
Negara Harus hadir”
Itulah
beberapa tulisan di spanduk-spanduk yang dipasang di tanggul lumpur di Porong
Sidoarjo. Sudah sembilan tahun, masalah lumpur di Sidoarjo ini memang
belum beres-beres. Soal sebutan, terserah mau nyebut Lumpur Siadoarjo (Lusi), atau Lumpur
Lapindo. Kalau dibahas, bisa ribet. Embel-embelnya banyak, bisa bawa-bawa
keberpihakan. Sudah kaya aliran ideologi atau agama (...malah ngelantur lumpur). Yang pasti di balik wisata lumpur
ini, ada orang-orang yang menderita. Dan gak sedikit juga, orang yang ‘bermain’
di balik penderitaan warga.
Nginap
semalam di Surabaya, tujuan kami berikutnya adalah kota Malang. Berangkat pagi sekitar
jam sembilan dari
Surabaya, sekalian lewat, mampir dulu di ‘wisata lumpur’ Porong Sidoarjo. Ngilangin
rasa penasaran anak-anak dan tim Lampung akan kehebohan cerita Lumpur Sidoarjo,
atau Lumpur Lapindo. Buat naik dan lihat di pinggir tanggul, kami harus bayar tiket
masuk ‘informal’ ke orang yang jaga di situ. Di atas, kita
bisa lihat
hamparan lumpur sangat luas yang sudah menenggelamkan permukiman warga. Ada juga patung manusia lumpur yang sebagian badannya sudah kelelep
dan nancep di lumpur.
Karena cukup banyak orang yang berdatangan ke lokasi ini, sebagian warga
memanfaatkannya buat berjualan. Seperti penjual VCD Lumpur dan minuman beras kencur yang setia menemani kami selama di sini. Vcd isinya tentang
sejarah atau awal mulanya semburan lumpur, sampai cuplikan berita-berita tv. Sambil
lihat-lihat lautan lumpur, anak-anak minum beras kencur dan kunir asem. Sekitar lima belas menit di sini, cukuplah untuk
sekedar melihat suasana tanggul lumpur Siring, Porong Sidoarjo.
Sampai di Malang sekitar jam satu siang, langsung menuju bakso President.
Menu wajib saya kalau ke Malang, di Jalan Batanghari tepat di pinggir rel
kereta api. Antre, sudah biasa. Dan mungkin karena memang pas jamnya
makan siang. Beberapa menu paketan seperti bakso
campur special
atau komplit sudah habis. Biar gak ribet, karena pesan buat sembilan
orang, akhirnya kami pilih paket yang ada, paket super
dan yang biasa. Eh ternyata salah strategi. Di paket itu, gak ada bakso atau
siomay yang sudah diincer. Padahal di ‘display’ dan di pancinya
kelihatan masih ada. Ternyata kalo di sini, enakan pilih
sendiri satu per satu isinya. Tapi karena males antre lagi, ya sudah lah makan
yang ada. Untung di awal masih sempat pesan tambahan
bakso
bakar.
Habis
bakso President, tujuan berikutnya adalah mesjid tiban, sekitar 40 km dari kota Malang. Tepatnya di Jalan KH
Wahid Hasyim Gang Anggur, Desa Sananrejo,Turen, Kabupaten Malang. Dibilang
mesjid tiban, konon katanya karena mesjid ini ‘tiba-tiba ada’. Konon juga dibangun jin
dalam semalam. Memang cuma konon. Tapi yang konon-konon ini lah yang nyebar ke
mana-mana dan bikin orang penasaran. Termasuk Ening yang katanya di Lampung, tetangga
dan ibu-ibu arisan atau pengajian, cukup heboh jadi obrolan. Makanya dua tahun
lalu kami ke mesjid tiban ini, karena kehebohan cerita Ening ke Eyang. Dan
sekarang, kami datang lagi ke sini, biar Ening lihat langsung dan gak
penasaran.
Mesjid tiban
ini sebenarnya adalah pondok pesantren, namanya Salafiyah Bihaaru
Bahri’asali Fadlaailir Rahmah (Bi Ba’a Fadlrah). Santri-santrinya juga banyak dan ada
yang tinggal di sini. Jadi, gaya masuk ke sini ya seperti masuk ke pesantren,
bukan gaya ke lokasi wisata. Ada aturan pesantrennya. Di sini gak dipungut bayaran,
hanya harus lapor ke pos informasi dan mengisi data kunjungan. Kertas selembar
isian data itu, nantinya diminta dan harus diberikan di pos keluar saat pulang.
Keliling pesantren alias mesjid tiban, kami keluar masuk ruang-ruang
yang berbeda-beda nuansa dan disain arsitekturnya. Gabungan dari beberapa
unsur. Ada
yang bergaya Timur Tengah, Tiongkok, sampai gaya Eropa. Ornamen-ornamen dan
tulisan kaligrafi, hampir
memenuhi setiap dinding dan atap ruangan di pesantren ini. Ada juga aquarium
ikan di salah satu ruang.
Bangunan megah, disain unik, kaligrafi indah, lahan
yang luas dengan cuaca yang sejuk, dan juga sikap yang sangat terbuka buat kunjungan,
membuat betah orang yang
datang ke sini. Makanya pondok pesantren ini bagi pengunjung, lebih berasa
sebagai tempat wisata
dibanding pondok pesantren. Dan memang, mesjid tiban ini sudah jadi salah satu tujuan
wisata ziarah di tanah Jawa.
Mesjid tiban jadi lokasi terakhir kami di Malang. Sekitar jam lima sore, kami
meninggalkan Turen. Tujuan selanjutnya adalah Solo. Ada beberapa pilihan rute yang bisa
diambil:
1. Malang-batu-pujon-pare-kertosono-nganjuk-caruban-ngawi-sragen-solo
2. Idem no 1 -caruban-madiun-magetan-sarangan-solo
3. Malang-blitar-kediri-nganjuk-caruban-madiun-magetan-sarangan-solo
4. Malang-blitar-tulungagung-trenggalek-ponorogo-wonogiri-solo
5. Malang-blitar-tulungagung-kediri-nganjuk-caruban-ngawi-sragen-solo
6. Malang-blitar-wates-kediri-nganjuk-caruban-ngawi-sragen-solo
Kalau dua tahun lalu, untuk Solo-Malang kami lewat jalur no 3
yaitu lewat Sarangan-Tawangmangu yang berbukit-bukit, kali ini kami memilih
jalur dari Malang lewat Blitar terus Wates ke Nganjuk lalu lanjut Ngawi-Sragen-Solo. Karena jalan
malam, percuma juga lewat Sarangan-Tawangmangu gak bisa lihat pemandangan.
Lagian jalannya belok-belok dan naik turun, kurang nyaman kalau jalan malam.
Tujuan
antara sebelum ke Solo, adalah alun-alun dan Mesjid Agung Blitar. Cara tergampang dan terasyik
bagi kami buat ishoma kalau di perjalanan, ya ke alun-alun. Di alun-alun yang pastinya juga
adalah pusat kota setempat, biasanya ada mesjid agung, biasanya banyak makanan,
biasanya ada lapangan atau taman buat main anak-anak. Dan di alun-alun, kami
bisa sekalian merasakan denyut kehidupan setiap kota yang disinggahi.
Jam tujuh
malam kami sampai di alun-alun Blitar, Isya di mesjid agung
dan makan di
sekitar mesjid. Anak-anak juga
puas main-main di alun-alun Blitar. Sekitar jam setengah
sembilan malam kami meninggalkan
Blitar. Mengandalkan
google maps, buat memangkas jarak, kami memilih jalan
tembus lewat Wates. Ternyata gak semua jalan yang dilewati jalan besar seperti
jalan nasional atau jalan provinsi-kabupaten. Demi potong jalan, kami asruk-asrukan ke jalan kecil. Malah sempat
beberapa kali ragu karena masuk ke jalan komplek atau malah jalan kampung yang kecil
dan hanya pengerasan batu atau tanah. Bener-bener kampung, dan gelap pula.
Untung saja tembus di jalan kota Wates. Dari kota Wates, berikutnya lanjut
lewat Kediri-Nganjuk-Ngawi-Sragen. Di Sragen, padahal tengah malam buta, masih
saja sempat kejebak macet. Dan akhirnya sampai di Solo sekitar jam dua dini
hari.
Sedikit
kecapean karena perjalanan sampai lewat tengah malam dan terus-terusan, apalagi
Keano sempat agak panas badannya dan mencret-mencret (yang langsung sehat-segar
lagi), di Solo kami hanya leyeh-leyeh dan istirahat. Juga sekalian manfaatin waktu
buat ngumpul bareng saudara di Solo.
Besoknya
dari Solo kami lanjut ke Borobudur. Mungkin karena liburan (tahun baru 2015) jalanan
macet di mana-mana. Hindari macet, kami lewat jalan alternatif, dan langsung
tembus di Magelang tanpa melalui kota Yogyakarta. Sebelum masuk Borobudur, makan
siang dulu di warung makan di jalan menuju Borobudur. Mangut beong dan brongkos
dihajar sampai ludes.
Di
Borobudur, karena memang pas libur tahun baru, mulai dari beli tiket masuk
sampai naik ke puncak Borobudur penuh semua sama orang. Naik ke atas borobudur
harus sedikit desak-desakan dan cari-cari tangga naik atau turun yang kosong.
Buat Keano
ini yang pertama kalinya ke Borobudur. Kalau Lana pernah ke sini sebelumnya, satu
atau dua kali. Selama hampir tiga jam muter-muter di komplek Borobudur (jam 2-5
sore), kami lanjutkan perjalanan ke Jogja dan nginap semalam di rumah bude di Jogja.
Jogja jadi
penutup road trip kali ini. Ibarat makanan yang empat sehat lima sempurna. Road
trip Bromo-Bali sehat, tambah Borobudur dan Jogja jadi sempurna. Selebihnya
tinggal menikmati jalan pulang buat dessertnya.
Kalau berangkatnya lewat jalur utara (pantura), maka pulangnya biar gak bosen
lewat jalur selatan. Lebih lama memang, karena gak bisa bebas ngegas kaya di
jalur utara. Tapi minimal pemandangannya beda, dan bisa kuliner yang beda juga.
Salah satunya makan bakso di Ciamis.
Rute sebelas
hari road trip, 23 Desember 2014 sampai
2 januari 2015 :
23 -- Depok
– Pemalang (Alun alun & Nasi Grombyang) - Demak
24 -- Demak (Makam Sunan Kalijaga) – Kudus (Menara Kudus) - Bromo
25 -- Bromo (Sunrise, Kawah, Bukit Teletubbies, Pasir Berbisik) - Bali
26 -- Bali (Uluwatu, Pantai Kuta)
27 -- Bali (Ubud, Tampak Siring, Kintamani, Sukawati, Bali Mandara, Krisna Tuban)
28 – Bali (Tanah Lot, Joger, Krisna Sunset Road)
29 -- Bali - Surabaya
30 -- Surabaya – Porong - Malang (Bakso President, Mesjid Tiban) - Blitar - Solo24 -- Demak (Makam Sunan Kalijaga) – Kudus (Menara Kudus) - Bromo
25 -- Bromo (Sunrise, Kawah, Bukit Teletubbies, Pasir Berbisik) - Bali
26 -- Bali (Uluwatu, Pantai Kuta)
27 -- Bali (Ubud, Tampak Siring, Kintamani, Sukawati, Bali Mandara, Krisna Tuban)
28 – Bali (Tanah Lot, Joger, Krisna Sunset Road)
29 -- Bali - Surabaya
31 -- Solo
1 -- Yogyakarta + Borobudur
2 -- Yogyakarta – Ciamis - Depok
***
1 komentar
wuih mantap mbayu lana, skalian kasih total bajet plesirany dong biar bs ikutan ...
ReplyDelete