Dieng
Jawa Tengah
Road Trip
Ada Macet di Bumi Kahyangan (Sepanjang Jalan ke Dieng #2)
Pagi yang segar setelah dimanja sunrise di Gardu Pandang Tieng, membuat
kami lebih bertenaga, dan ingin segera mengeksplor titik-titik menarik lainnya
di dataran tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Semakin bersemangat, karena
inilah Bumi Kahyangan, daerah yang disebut-sebut sebagai tanah para dewa.
Mengikuti papan petunjuk jalan, kami memilih
jalur menuju spot wisata terbanyak yaitu ke arah Telaga Warna, Dieng Plateau,
Kawah Sikidang, dan Bukit Sikunir. Di tengah jalan dekat Telaga Warna, petugas
tiket memberhentikan kami dan pengendara lainnya. Beli tiket masuk dulu. Harganya
delapan ribu rupiah untuk dewasa. Anak-anak gak dihitung, gratis. Tiket ini
katanya bisa buat masuk ke Dieng Plateau Theater. Di tempat yang sama, juga ditawari
masker. Buat di kawah. Harganya dua ribu rupiah. Kami beli empat. Pas
masing-masing satu.
Kami lewati dulu Telaga Warna, jalan terus dan belok
kiri ke arah Dieng Plateau Theater. Parkir di halaman gedung Theater, pilihan
pertama kami adalah ke Batu Pandang Ratapan Angin. Atau lebih sering disebut
Batu Pandang Dieng. Lokasinya ada di belakang gedung Dieng Plateau Theater.
Jalur masuknya persis di sebelah gedung Theater. Sebelumnya kami belum tahu,
apa itu si Batu Pandang ini. Karena lihat spanduk yang bergambar saja, yang
membuat kami yakin kalau itu tempat menarik, tempat untuk melihat Telaga Warna dari
ketinggian.
Berjalan menelusuri jalan kecil, di salah satu
pos kami diharuskan membeli tiket masuk. Harga tiket sepuluh ribu rupiah per
orang. Hanya dewasa yang dikenakan HTM. Anak-anak gratis. Baru masuk dan berjalan
belum jauh, Keano mau BAB. Jarang-jarang Keano minta BAB pas jalan-jalan. Kalau
diingat-ingat, hanya di tempat-tempat eksotis lah Keano BAB. Selain di Dieng
ini, salah satunya pernah di Bromo. Sama-sama di ketinggian. Anak yang pintar.
Pintar memilih lokasi. Lokasi terbaik, lokasi berkesan J
Untung ada toilet gak jauh dari situ. Yossie yang
mengantar Keano. Sambil nunggu Keano ke toilet, saya dan Lana lanjut jalan
terus naik duluan. Duduk di saung-saung sambil memperhatikan orang-orang yang
sibuk aplusan antre foto, dan berpose di atas batu.
Tujuan utama ke Batu Pandang Dieng ini tentu saja untuk melihat
keindahan Telaga Warna dan Telaga
Pengilon dari ketinggian. Tujuan lainnya, terutama bagi yang kena demam foto di
ketinggian, Batu Pandang Ratapan Angin ini tentu saja spot menarik untuk
foto-foto seperti halnya Tebing Keraton di Bandung, atau Kalibiru di Kulonprogo.
Gak bisa lihat batu atau bukit kecil
nganggur, orang-orang langsung nangkring foto-foto di atasnya. Selain satu batu
yang memang sudah jadi spot foto favorit, buat alternatif ada beberapa spot
yang bisa dijadikan lokasi foto di ‘ketinggian’ dengan view yang lepas ke bawah.
Perbedaan warna yang kontras dari air Telaga
Warna dan Telaga Pengilon menjadi pemandangan terbaik dari Batu Pandang Dieng. Telaga Warna
ini sebenarnya adalah danau vulkanik dengan kandungan belerang yang tinggi.
Kandungan mineral sulfur inilah yang membuat warna Telaga Warna ini bervariasi.
Sedangkan Telaga Pengilon yang ada di sebelahnya, airnya lebih bening seperti
telaga atau danau pada umumnya.
Selain view dua telaga tadi, dari Batu Pandang Dieng ini, terlihat juga
kawah Sikidang di kejauhan.
Dari Batu Pandang Dieng, lanjut ke Dieng Plateau Theater. Hari itu lumayan penuh
dan antre buat bisa masuk ke theater. Sebelum masuk theater, anak-anak jajan
dulu di kios-kios yang ada di samping gedung theater. Banyak pilihan, enak-enak,
dan relatif murah. Beli singkong keju yang garing, jamur goreng berbagai rasa,
dan jajanan kecil lainnya.
Di theater ini kami nonton film Bumi Kahyangan
Dieng Plateau. Film tentang sejarah atau perkembangan Dieng.
Tempat menarik berikutnya yang kami sambangi
adalah Kawah Sikidang. Kalau cuma kawahnya sih biasa, gak ada yang istimewa. Sama saja, seperti
kawah-kawah lainnya. Tapi ini Dieng, itulah bedanya J. Yang pasti, yang bikin lebih menarik
di Kawah Sikidang adalah suasana dan aktifitas orang-orang yang ada di sekitarnya.
Hanya dengan membayar lima ribu
rupiah per orang, banyak yang bisa dilihat di sini. Jalan kaki mulai dari parkiran sampai kawah,
kami dapat hiburan di sepanjang jalan. Ada hiburan musik alias pengamen. Mulai
dari yang ngamen tampak profesional, sampai yang ngamen rombongan amatiran. Gak
tahu ngamen beneran, apa cuma nyanyi-nyayi gigitaran
kaya anak gang pinggir jalan. Tapi semuanya masih sopan dan ngepos di satu
titik, jadi gak ngeganggu kelayapan.
Di sini juga ada penyewaan motor (cross) buat offroad-offrodan di sekitaran kawah Sikidang dengan track tanah keras dan berbatu. Tarifnya
15 ribu untuk dua putaran.
Gak ketinggalan, seperti halnya di kawah,
jualan khasnya adalah bunga edelwis, bongkahan batu belerang, dan telur rebus. Bukan sembarang telur rebus. Karena telur yang
ini memang direbus langsung dari panasnya dapur magma Sikidang. Kolam besar
yang terus mengepul asap tebal dan airnya menggelegak ini jadi tempat merebus
telur ala Sikidang. Sekilas seperti orang yang sedang mancing, dengan telur yang diikatkan di ujung
pancingan.
Kawah Sikidang ini memang memberikan
nuansa lain, dan menambah variatif wisata Dieng. Kalau sebelum-sebelumnya lebih
banyak disajikan pemandangan hijau, telaga, atau sunrise, di Sikidang ini hamparan tanah tandus berbukit dan aroma
belerang lebih dominan. Di beberapa tempat di sekitar kawah, penjual batu-batu belerang
menggelar dagangannya dengan menumpuk rapi bongkahan belerang, atau malah sudah
dikemas dalam plastik.
Bau belerang terasa menyengat di Kawah
Sikidang. Di sinilah gunanya masker. Tapi walaupun sudah pake masker, tetap
saja baunya masih menusuk hidung. Terutama di area paling dekat kawah. Lana yang
gak kuat bau belerang, sampai muntah dan ngajak cepat-cepat balik ninggalin
Sikidang.
Lihat Telaga Warna kalau hanya dari atas Batu
Pandang Dieng kayaknya kurang afdol. Beli tiket lagi buat masuk ke Telaga Warna,
ternyata di sini lumayan penuh juga. Padahal cuma lihat telaga doang. Dibilang
‘doang’ karena saking ramenya, jadi kurang menikmati telaga paling popular di
Dieng ini. Bayangan saya, kalau di telaga itu enaknya sepi, adem. Apalagi
suasana dan pemandangannya sudah mendukung. Biar khusyu menikmati kesejukan dan
keindahan telaga yang airnya berwarna gradasi hijau (muda-tua-tosca).
Tapi ya namanya musim liburan,
lebaran pula, wajar kalau rame di mana-mana. Dinikmati saja. Suasana liburannya
berasa, salah satunya di telaga Warna ini ada foto bareng badut. Lana sempat
usaha minta dibolehin foto bareng badut. “Ya mbak, kalau cuma mau foto sama
badut mah ngapain jauh-jauh ke sini” (maaf ya om badut & Lana). Karena
proposalnya ditolak, akhirnya Lana beralih minta jajan. Pelariannya beli jagung
bakar (lagi).
Setelah dari Telaga Warna, mampir di
Masjid Baiturahman buat ishoma. Istirahat, sholat, makan. Makannya di warung
sebelah masjid. Banyak pilihan warung makan di sini. Yang jadi pilihan, yang
ada menu mie ongklok, dan sate kambingnya. Ternyata salah strategi. Mie
ongkloknya gagal rasa, mungkin karena sudah dingin. Sate kambingnya juga biasa
saja. Cenderung terlalu manis, kurang berasa kambingnya. Buat anak-anak, ditambahin
menu andalan, yaitu dibikinin telur dadar. Ada telur, beres dah.
Kelar makan siang, lanjut jalan lagi.
Panas, terik matahari, dan jalanan juga macet. Balik ke penginapan. Istirahat
leyeh-leyeh di kamar sampai ketiduran semua. Lumayan buat ganti utang tidur
semalam gara-gara di perjalanan. Bangun tidur, ternyata sudah sore. Selepas
maghrib, jalan kaki keluar menikmati kota Dieng. Merasakan denyut Dieng di
malam hari.
Jalan malam di Dieng, ditutup dengan
makan malam di RM Dieng. Buat anak-anak, dipesenin soto sapi. Saya masih
penasaran sama mie ongkloknya Dieng, belum nemu yang pas. Ternyata mie
ongkloknya antre lama. Sate juga sama, antre. Jadi beralih ke gulai kambing.
Ternyata mantap, bolehlah nanti diulang lagi gulainya. Gorengannya juga mantap.
Keano habis banyak. Gak tahu lapar, dingin, atau memang suka. Makan malam yang
pas, jadi bekal penting buat tidur nyenyak sebagai persiapan bangun cepat demi mengejar
sunrise di Bukit Sikunir.
Hari pertama liburan di Dieng
berjalan sukses. Walaupun harus banyak antre. Antre masuk tempat wisata, antre
nunggu makan, sampai antre di jalan. Libur
lebaran ini memang sudah bikin macet Dieng (masih dalam batas toleransi). Ternyata
Bumi Kahyangan pun gak lepas dari macet.
Bersambung...
***
0 komentar