Dieng
Jawa Tengah
Road Trip
Ngeroyok Puncak Bukit Sikunir (Sepanjang Jalan ke Dieng #3)
Tumplek
plek.. padat. Tanah bukit seuprit direbutin ratusan orang. Mungkin bisa jadi
ribuan. Kaya naik kereta atau bus umum yang lagi lucu-lucunya jam pulang atau
berangkat kantor, bisa naro dua kaki di lantai saja sudah alhamdulillah banget.
Nah begitu itu di Puncak Bukit Sikunir pas libur lebaran kemarin. Mejeng di
bukit buat lihat sunrise saja, sudah
kaya harus ikutan perebutan lahan. Mana ada jurang lagi, persis di depan.
‘Perjuangan’
dimulai jam tiga dini hari saat harus mengurangi jatah waktu tidur. Karena agendanya hari ini,
sebelum jam setengah empat sudah harus berangkat ke Sikunir. Biar maksimal dapat
sunrise. Belum lagi dari semalam
sudah kepikiran, gimana cara mobil keluar dari parkiran. Karena mobil parkirnya
paling dalam, kehalang sekitar empat mobil lain yang sama-sama nginap di
homestay. Masa harus bangunin satu persatu yang punya. Eh ternyata pas keluar
kamar, ternyata semua yang nginap di homestay pada mau ke Bukit Sikunir juga. Dan
mobil lancar gantian keluar parkiran.
Berangkat
sekitar jam setengah empat dini hari, jalanan sudah rame sama mobil dan motor.
Gelap-gelap sudah seliweran. Lihat suasananya yang macet-macetan di kegelapan,
jadi inget pas di Bromo. Pas mau ke Penanjakan, lihat sunrise juga. Mirip. Di
Dieng karena jalanannya tanjakan turunan, jadi kelihatan lampu-lampu mobil
berderet macet. Sabar, antre.
Masuk desa
Sembungan, kelihatannya mentok buat terus jalan ke parkiran dekat Telaga
Cebong. Terlalu lama gak jalan-jalan. Akhirnya saya belokin parkir di tanah
kosong sebelah kiri. Saya lihat sudah ada satu mobil parkir. Yang lain juga
sama, pada milih parkir di situ. Jadi penuh tuh parkiran. Dari parkiran, jalan kaki
sedikit ke pos pintu masuk Sikunir. Di sini bayar tiket masuk, lima ribu per
orang.
Masih jauh
buat ke titik awal pendakian. Ada dua pilihan, jalan kaki atau naik ojek. Kalau
jalan kaki, anak-anak bisa cape duluan. Dan terutama bisa telat sampai di
puncak, keduluan matahari. Jadi lebih pilih naik ojek. Banyak memang ojek di situ,
tapi banyak juga yang mau naik. Cari dua ojek, cuma dapet satu. Lana sama
Yossie yang jalan duluan, boncengan. Per orang bayarnya sepuluh ribu. Kalau
sama anak, jadi bayar lima belas ribu per ojek. Sambil nunggu ojek datang, main-main
dan fotoin Keano dulu. Mumpung lagi di desa tertinggi di pulau Jawa.
Akhirnya
ojek yang ditunggu datang. Janjian sama Yossie-Lana di dekat parkiran, sempat
agak lama cari-carian. Maklum gak ada sinyal telepon, ilang-ilangan. Selain
itu, penuh orang juga.
Jam lima
kurang sepuluh, mulai jalan naik ke puncak. Bukan naik puncak gunung kaya anak
gunung beneran. Ini sih jalur wisata. Aman dan nyaman buat keluarga. Jalan
pelan-pelan, padat merayap. Cukup membantu bawa lampu senter. Selain bantu buat
penerangan, bisa jadi mainan Keano juga. Keano senang nyenterin jalan dan
pepohonan. Pengalihan isu biar Keano gak merasa cape.
Untung saja
cuaca cerah. Bayangin kalau hujan, atau misal habis hujan. Karena jalanannya
rata-rata tanah, bisa licin dan belok
(bahasa sunda). Sebagian memang sudah dirapihin sama batu-batuan. Malah sudah
dikasih pagar pegangan. Tapi tetap saja bisa licin. Cuma yang jadi soal kalau
kering begini, jalanan jadi kebul
berdebu.
Sekitar
setengah jam buat sampai di puncak Bukit Sikunir. Busyet dah sudah padat sama
orang. Kaya di terminal bus atau stasiun KA pas mudik lebaran. Rame banget. Hampir
semua mata mengarah ke langit gelap yang perlahan berubah warna dan semakin
terang seiring nongolnya mentari secara perlahan.
Hampir
setiap tanah datar sudah diisi. Lokasi-lokasi favorit kaya bukit-bukit kecil
sudah dipatok dan dikuasai orang-orang. Bener-bener dikuasai. Ada satu bukit (gundukan)
yang kelihatannya masih kosong. Saya naik sama Keano. Rupa-rupanya si mbaknya
yang sedang di atas merasa keberatan ada tambahan orang. Dengan muka judesnya,
dan mata mendelik kaya artis antagonis di sinetron stripping, si embaknya mempraktekkan akting terbaik khas emak-emak
atau mbak-mbak ‘tidak terpuji’ yang
sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Serasa dia yang punya tanah di
situ, atau mungkin dia lagi ngurus sertifikat tanahnya.
Saya cuek
saja tetap naik sama Keano, tambahin Lana sekalian. Toh cukup-cukup saja. Memang
kalau gak hati-hati bisa nyusruk nyerosot tebing atau jurang. Geser
dikit-dikit, malah ada ketambahan orang lain yang ikutan naik, toh masih nyaman
berdiri dan duduk lihatin sunrise.
Sunrise yang indah. Kecuali si mbaknya. Tapi itulah seninya. Indonesia banget.
Langit mulai
terang. Yang tadinya agak samar-samar, sekarang semakin jelas penampakkan
keramaian Bukit Sikunir. Serasa hari pasar, yang selalu dipenuhi orang-orang. Masih
untung gak ada yang buka lapak jualan, plus sale
atau diskonan. Kalau jualan minuman dan makanan ringan kaya pop mie dan kopi
ada di belakang, bagian tanah yang agak lapang dan datar. Kalau di bagian
depan, bagian bukit atau gundukan, memang gak ada transaksi jual beli. Yang ada,
transaksi gantian tukeran tempat. Dan gaya orang-orang yang datang pun hampir
sama. Rata-rata niat buat Foto. Entah yang pake DSLR, kamera pocket, ataupun kamera hape. Mau yang selfie, groufie atau yang fokus ke
panorama pemandangan. Tapi semua kelihatannya happy.
Sunrise sudah habis. Tapi pemandangannya
masih cakep. Sebagian mulai turun pulang. Sebagian lagi ada yang baru datang. Mulai
silau dan panas, saatnya turun. Turun bersamaan orang-orang yang ternyata punya
rencana yang sama. Kaya habis nonton bola di stadion, berbondong-bondong aliran
orang turun dari puncak.
“Awas air
panas, awas dompet”... teriakan-teriakan iseng bersahutan gak jelas di pagi
itu. Ada yang nyanyi-nyanyi juga kaya barisan komando atau suporter sepak bola.
Lumayan menghibur dari pada marah-marah atau jutek karena padat antrean. Belum
lagi debu yang berterbangan lumayan ganggu. Bawa masker, slayer atau sal cukup
membantu.
Hiburan lain, di tengah jalan di antara turunan, kami melihat ada tiga musisi
jalanan mencoba menghibur dengan menjual suara. Tiga kelompok pengamen di tiga titik
berbeda. Dari yang ngamen serius lengkap dengan atribut, sampe pengamen ala
tongkrongan anak gang.
Jalan perlahan,padat merayap, akhirnya sampai juga di bawah. Sunrise trip yang mantap. Semakin mantap
dengan sambutan pemandangan Desa Sembungan dan Telaga Cebong. Lebih lengkap lagi
dengan cemilan kentang kecap, makanan yang menggugah selera mata. Sikunir,
emang anjiirr...
Bersambung...
***
0 komentar