Swift

Desa Nelayan Volendam, Tempat Wisata Legendaris di Belanda


Pernah kaaan lihat foto-foto wisatawan pakai baju tradisional Belanda? Pada zamannya, dan sekarang juga masih sih, foto-foto kayak gitu ngehits banget buat orang Indonesia yang jalan-jalan ke sana. Saking populernya, sampe-sampe dibuat duplikasinya di sebuah tempat wisata ngehits di Bandung, daaaan banyak juga yang antre pengen ikutan foto.

Naah, foto klasik gini biasanya diambil sebagai kenang-kenangan setelah bertamasya ke Volendam, sebuah desa wisata di negeri kincir angin, Belanda.


Terletak di utara Belanda, Volendam pada awalnya adalah sebuah desa nelayan. Dari Amsterdam Centraal, bisa ditempuh dengan bus sekitar setengah jam perjalanan. Kami ke Volendam setelah mengunjungi Zaanse Schans, desa tradisional yang masih memiliki sejumlah kincir angin yang beroperasi. Soal Zaanse Schans nanti ada cerita sendiri yaa..




Bepergian mandiri, tanpa perlu ikut organize tour ke Volendam bisa dimulai dari terminal bus Amsterdam Centraal. Terminal ini terpadu dengan stasiun kereta sehingga bikin gampang dicapai dari mana-mana. Turun kereta tinggal jalan kaki ke arah belakang yang berhadapan dengan laut, naik satu lantai, lalu tunggu deh busnya di halte yang sudah ditentukan. Petunjuk arah, nomor bus, serta informasi harus nunggu di halte yang mana, cukup jelas dan tersedia pula dalam bahasa Inggris. 

Cara ke Volendam sangat mudah. Dari Centraal, tinggal naik bus. Bus no 316. Pulangnya pun sama. Naik dan turun di halte yang sama. Cepat, praktis, dan jalanan pun lancar.



Kami menggunakan travel ticket region agar lebih mudah dan hemat. Travel tiket region ini cuma salah satu di antara sejumlah bentuk tiket transportasi publik di Belanda. Travel tiket Amsterdam dan region berlaku untuk naik kendaraan umum di dalam kota Amsterdam, serta wilayah-wilayah di sekelilingnya seperti Volendam, Edam, Hilversum dan Zaanse Schans.

Tiket kami beli ketika mendarat di Bandara Schippol, berlaku mulai untuk naik kereta bandara, kereta dalam kota, tram, hingga bus. Harganya tergantung berapa hari kita akan pakai. Pilihannya mulai dari satu, dua, tiga hari. Waktu itu kami membeli tiket region untuk satu hari, harganya  €18.50.
Lebih jelasnya soal tiket region bisa di cek di halaman ini


Sebagai desa wisata, setiap tahun ribuan orang telah mengunjungi Volendam. Dari halte tempat turun bus, kami berjalan kaki menuju pelabuhan. Arahnya waktu itu sesuai insting saja, ngikutin keramaian rombongan turis berjalan hehehe... muter-muter dikit gak papalah, pemandangannya juga bagus kok. Bentuk rumahnya lucu-lucu banget, dan semua memang masih ditempati, baik sebagai hunian, tempat nginep tamu, toko, ataupun rumah makan.


Jalan kaki sekitar 10 menit sampai deh ke tepi pelabuhan. Pelabuhan ini gak langsung menghadap laut lepas. Perairan yang terhubung dengannya lebih menyerupai danau atau waduk. Gak ada ombaknya meskipun angin laut lumayan terasa berhembus. Sayang langitnya lagi abu-abu. Cuacanya juga mendung gitu. Kalau difoto jadi kurang spekta. Tapi, turis-turis yang menikmati suasana tetap ramai, dan bahkan cenderung padet banget. Waktu kami baru memasuki kawasan tepi laut, jalan saja antre. Penyebabnya ternyata adalah cafe-cafe yang ada di pinggir pantai. Pengunjungnya sampe tumpah nutupin jalan. Yang kaya gini ini yang menghalangi lalu lintas pejalan kaki.




Lepas dari kerumunan pengunjung cafe, baru deh bisa menikmati suasana Volendam. Di jalan sekitar pelabuhan ini terdapat banyak toko suvenir yang juga merangkap studio foto menawarkan pengunjung berpose dengan nuansa dan kostum tradisional nelayan Belanda. Pakaian ini disebut klederdracht. Bukti Volendam itu terkenal banget buat orang Indonesia sejak masa lalu ada di sini. Soalnya kita bisa ngeliat foto-foto mulai dari Gusdur, Megawati, para menteri dan pejabat dari jaman orba dulu, sampe artis-artis lawas tanah air macam Maya Rumantir dipajang di bagian depan toko.


Kami sekeluarga tentu saja gak ikutan foto hahaha.. Terus terang untuk hal-hal kayak gini, saya gak gitu tertarik, cocok juga sama suami yang males ribet untuk urusan foto aja mesti ganti kostum segala. Belum lagi harganya yang lumayan, foto untuk 1 orang 15 euro, 2 orang 20 euro, dan 3 orang 25 euro. Kalau kita berempat jadinya 28,50 euro. Dulu pas prewed, foto kami berdua aja juga ala kadarnya. Itu pun berfoto karena dapat paket gratisan dari wedding organizernya. Tapi beda orang kan beda preferensi ya.. Kalau suka, ya foto, kalau nggak suka ya nonton aja orang berfoto hehehe...



Jajanan yang ngehits di Volendam adalah aneka hasil laut yang dijadiin snack atau camilan. Udang, cumi, aneka ikan, mulai yang digoreng tepung, goreng biasa, kukus, hingga yang disajikan mentah, Tinggal cobain saja satu-satu. Kalau buat anak-anak, semua ini gak lengkap tanpa beli kentang goreng dan tentu saja es krim. Untuk jajan simpel kayak beli es krim, kami melatih Lana untuk sudah bisa transaksi sendiri. Tujuannya melatih keberanian dan mengasah skill bahasa inggrisnya. Awalnya Lana ragu dan takut. Tapi anak-anak nggak punya pilihan. Kalau mau es krim, mereka harus ke boothnya dan belanja sendiri atau nggak sama sekali. Jadiii.. daripada nggak dapat es krim, berangkatlah Lana diikuti Keano berbekal uang 5 euro. Saya dan suami cuma mengawasi saja dari kejauhan.




Pusat keramaian di Volendam adanya memang di jalan sepanjang pelabuhan. Aktifitas nelayan di sini katanya sudah gak seramai masa lalu. Kami gak liat juga sih. Mungkin karena bukan musim melaut, atau memang sudah sepi nelayannya. Volendam ketika kami datang jadinya seperti tempat wisata yang padat pengunjung saja. Terlalu riuh malah. Pasti penduduk di sini sering keberisikan sama pendatang. Ini kali kedua suami ke Volendam. Dulu banget dia bilang cafe-cafe gak seramai ini. Sekarang kalau saya lihat, cafe semakin senja semakin ramai. Malah kayak jadi tujuan utama tempat hangout, bukan lagi menikmati suasana Volendam secara keseluruhan. Bisa jadi bentuk wisatanya sudah bergeser sekarang. Yang terakhir ini cuma asumsi saya, bisa ya bisa juga tidak pada kenyataannya.


Keano gak lama mulai capek dan ngambek minta pulang ke hotel. Wajar sih, sebab kami bangun subuh di Berlin, check out hotel, dan langsung terbang ke Amsterdam. Sampai Amsterdam pagi, check in hotel, terus langsung jalan-jalan deh, termasuk ke Volendam ini. Gak heran si bocah sekarang minta gendong hehehe...Akhirnya kami beranjak meninggalkan kawasan pelabuhan. Menuju halte bus melalui jalan perumahan yang lebih sepi. Ternyata kawasan perumahan melalui gang dan jalan kecil, bagi kami jauh lebih menarik dan otentik.



Rumah-rumah tempat saya berfoto adalah rumah tinggal. Saya nggak sadar kalau nggak dibilangin sama suami, kalau yang punya di dalem ngeliatin saya duduk di teras rumahnya. Yah mohon maaf, bentuk rumahnya bagus sih, beda banget sama rumah di Depok hihihi...



Berbanding terbalik dengan suasana di tepi pelabuhan, di permukiman suasana lebih tenang, cenderung sepi malah. Rumah-rumah berderet teratur dan bersih banget, meskipun sebagian di antaranya terletak di gang sempit. Ukuran rumahnya bervariasi, kesamaannya gak satupun rumah memiliki pagar, atau dipasangi teralis di jendala-jendela besarnya. Kalau kita kepo, bisa ngelongok ke dalam melihat seperti apa sih rasanya tinggal di tempat tersebut. Cuma ya hal ini pasti berlawanan dengan tradisi di tanah Eropa pada umumnya yang sangat menjunjung tinggi privasi individu. Gak sopan bangetlah intinya memandangi bagian dalam rumah orang meskipun cuma dari jendelanya aja.


Muter-muter di permukiman nelayan Volendam bener-bener gak berasa sama waktu. Enak dilihat. Bersih tempatnya dan juga bersih hawanya. 

Puas di perkukiman, sebelum pulang balik lagi ke area pinggir pantai.



Semakin senja, cafe semakin rame. Yang menarik, pengunjung cafe gak didominasi orang-orang muda. Banyak malah kakek nenek tapi dengan gaya dandan abis-abisan menghabiskan waktu di dalamnya. Saya malah sempat mikir, mungkin ini memang klub tempat begaul opa oma, bersaing penampilan dengan generasi muda hehehe...

Sementara, turis-turis keluarga macam kami mulai meninggalkan lokasi. Menghabiskan malam di Volendam, bukan pilihan. Sebab jaraknya lumayan dari basecamp awal di Amsterdam. Rasa penasaran mengenai desa wisata legendaris ini terpenuhi sudah. Untuk kunjungan sekali, bolehlah. Tapi untuk mengulagi ke sini, selagi masih banyak tempat yang belum kami kunjungi, yah kita lihat nanti.



*****

You Might Also Like

0 komentar