Kiluan
Lampung
Luar Jawa
Pantai Pulau
Road Trip
Teluk Kiluan, Seninya tuh di Sini
“Pah, kok lama?” pertanyaan ini
sering terdengar dari mulut Keano setiap mau berangkat. Seperti biasa, dia
mulai gak sabar. Karena Keano biasanya yang paling pertama siap, atau tepatnya
disiapkan paling pertama. Sedangkan yang lain masih sibuk muter-muter, beres-beres,
packing dan lain-lain.
Lampung
kembali jadi pilihan liburan kami. Sekalian berkunjung dan ngajak keponakan jalan-jalan,
mumpung lagi liburan sekolah dan libur tahun baru 2014. Kali ini teluk Kiluan
jadi tujuan utamanya. Dengan keywords
ke anak-anak; pantai, pulau, dan lumba-lumba, membuat anak-anak semangat untuk
segera berangkat.
Teluk Kiluan berada di pesisir barat Sumatra, atau tepatnya di pesisir Lampung bagian selatan, di kecamatan Kelumbayan, kabupaten Tanggamus, Lampung Selatan.
Kami berangkat sekitar jam sembilan pagi
dari Bandar Lampung. Melewati pantai Mutun, pantai Klara, dan juga tambak-tambak
garam dengan kincir airnya, menjadikan perjalanan ke teluk Kiluan jadi hiburan
tersendiri. Sedikit melupakan jeleknya jalanan yang belum semuanya teraspal
dengan baik.
Kondisi jalanan ke Kiluan memang jadi
perhatian kami, apalagi setelah membaca beberapa tulisan tentang Kiluan. Tapi
ternyata, tak sehoror yang dikira. Memang masih banyak jalanan yang hanya
pengerasan tanah atau batuan, jalan yang diaspal hanya sampai pangkalan TNI AL.
Tapi secara keseluruhan jalannya masih aman, relatif nyaman buat dilewati. Karena
dari awal kami gak berpikir dan berharap jalanannya akan semulus jalan nasional
atau provinsi.
Hitungan saya, hanya dua titik yang memang perlu kehati-hatian ekstra. Itu pun di sekitar sepuluh kilo meter terakhir sebelum sampai di Kiluan. Yang pertama, karena jalannya berlubang terbelah-belah, sehingga harus pintar-pintar mencari jalur yang pas. Sedikit menanjak pula. Tapi kalau sudah tahu celahnya, gampang saja dilewati. Satu lagi adalah jalan turunan persis setelah gerbang Kiluan. Turunannya curam dan jalannya belum teraspal. Kerikil, pasir dan batuannya gampang terlepas sehingga licin. Nah turunan atau tanjakan ini nantinya jadi pe-er tersendiri ketika pulang.
Lepas dari turunan itu, mata langsung
disambut suasana pedesaan bernuansa adat Bali. Di sini memang lokasi
transmigran asal Bali. Ini juga menjadi tanda, selain gerbang Kiluan, kalau kami
sudah sampai ke Teluk Kiluan. Kami disarankan untuk parkir mobil di warung Pak
Yon. Gak jauh di belakang warung pak Yon, perahu jukung atau orang Lampung
sering bilang perahu ketinting, sudah siap untuk mengantarkan kami menyeberang
ke pulau Kiluan. Sebelumnya kami memang sudah booking penginapan di pulau Kiluan. Kami sengaja memilih di pulau
karena prinsip kami ‘kalau ada pulau di laut, kenapa harus di daratan?’. Yang penting
aman, dan yang kami bayangkan hanya keindahannya, tinggal lari dan bisa nyebur kapanpun.
Kalau soal nyaman itu relatif.
Warung Pak Yon, tempat parkir menitip kendaraan |
Di pulau Kiluan atau biasa disebut
juga pulau Kelapa, hanya ada satu penginapan. Ada dua bagian sebenarnya, sama satu
lagi yang di atas rumah penjaga pulau atau pengelola penginapan, plus
warungnya. Dua-duanya adalah bangunan sederhana terbuat dari kayu. Tadinya kami
diarahkan ke kamar di lantai dua rumah
panggung di atas warung itu. Tapi karena eyang susah naik turun tangganya, dan
juga takut anak-anak pecicilan jatuh
dari rumah panggung, akhirnya kami pindah dan memilih kamar lain di bagian
depan yang kebetulan sedang kosong. Lebih enak di sini malah. Listrik di pulau
hanya menyala dari maghrib sampai jam lima pagi. Fasilitas yang ada juga
sederhana, hanya ada kipas angin, kasur digelar di lantai beserta guling dan
bantalnya. Kamar mandi di luar, nimba sendiri di sumur dan hanya dibatasi seng.
Tapi di situlah seninya, dan anak-anak senang-senang saja.
Penginapan sederhana di pulau Kiluan |
Setelah menyimpan semua barang di
kamar, anak-anak langsung lari ke pantai dan nyebur ke laut. Sudah diprediksi
bagaimana senangnya mereka. Apalagi dengan pasir putihnya yang halus dan bersih
dari batuan tajam, juga sampah, membuat kami gak khawatir meninggalkan
anak-anak main di pantai. Hanya ada sedikit daun-daunan (kalo bisa dibilang)
mengotori air laut yang jernih berwarna biru gradasi tosca. Sore itu gak ada
pengunjung lain di pulau atau pantainya. Serasa pemilik pulau, kami menikmati
dengan tenang; berenang, main pasir, snorkling, hingga jalan-jalan menyusuri
garis pantai.
Bermain pasir putih nan bersih di pantai pulau Kiluan |
Langit mulai berubah gelap, kami juga
sudah cukup puas bermain di pantai. Masih ada besok. Saatnya istirahat dan
leyeh-leyeh di kamar. Dan pastinya, makan. Soal makan, tinggal pesan, langsung
dimasakin sama ibu warungnya dan diantar ke kamar. Menunya lumayan, seperti
masakan rumahan. Pilihan lauk dan sayuran memang sesuai persediaan. Yang
standar seperti mie rebus atau mie goreng dan nasi goreng juga ada. Untuk harga
makanan, normal-normal saja seperti warung biasa. Gak mencekik mentang-mentang
di pulau.
Dolphin Tour, Atraksi Lumba-Lumba di Teluk Kiluan
Melewati malam dengan sedikit
kegerahan, tapi tidur kami lumayan nyenyak juga. Jam enam pagi kami sudah siap
untuk dolphin tour, kecuali Keano
yang masih tidur pulas. Bapak jukung sudah stand
by menjemput kami untuk berburu atraksi lumba-lumba. Masih dalam kondisi
ngantuk, akhirnya Keano digendong dan naik ke jukung. Kami menggunakan tiga jukung
dengan harga masing-masing 250 ribu per jukung. Saya satu jukung dengan Yossie,
Lana, dan Keano. Duo eyang putri sama Imbi di jukung ke dua. Ening sama Zara
dan Kude di jukung ke tiga. Cuaca pagi itu kurang bagus, kadang terang, kadang
mendung bahkan sesekali hujan.
Ada sekitar 20-an lebih jukung dengan
tujuan yang sama berseliweran di tengah laut. Perahu jukung ini gak besar, tapi
dengan bentuknya yang ramping dan dilengkapi mesin, membuat jukung bisa
meluncur cepat menembus ombak. Saya gak khawatir perahu oleng oleh ombak atau
angin, karena jukung menggunakan cadik atau biasa juga disebut katir yang terbuat dari bambu untuk
penyeimbang. Jukung atau jung di Kiluan ini sangat khas bentuknya, dengan kedua
ujung lancip dan biasanya dicat warna mencolok.
Perahu jukung melaju memburu lumba-lumba |
“Selama saya bawa tamu sih pasti selalu ketemu
lumba-lumba, gak pernah gak ada. Cuma memang tempatnya pindah-pindah, tapi gak
pernah jauh dari sekitar sini”, kata bapak jukung (lupa namanya) ketika saya
tanya apa pernah dalam sehari gak ketemu lumba-lumba, karena penasaran campur
khawatir setelah cukup lama muter-muter belum ketemu lumba-lumba.
Akhirnya, sang bintang yang
ditunggu-tunggu mulai kelihatan. Barisan sirip hitam mulai bermunculan.
Selanjutnya melompat rendah, bahkan ada beberapa yang melompat tinggi.
“Itu pah... itu mah… ini pah… sana …
situ… bagus ya pah? …” Lana dan Keano seru menunjuk lumba-lumba yang muncul dan
hilang di permukaan air. Kadang di belakang mengikuti jukung, kadang di depan.
Kadang seperti ngajak balapan di samping jukung, di kiri, di kanan, di antara
cadik dan perahu, dan kadang munculnya jauh dari perahu. Jukung-jukung juga
posisinya mulai ngacak muter-muter mengejar di mana setiap lumba-lumba muncul.
Selama sekitar setengah jam lebih,
kami disuguhi pemandangan yang jarang-jarang ini. Dibilang jarang, karena
biasanya anak-anak cuma bisa lihat langsung lumba-lumba di Ancol. Lumba-lumba
hidung botol dan lumba-lumba paruh panjang ini memang sudah mengubah wajah
Kiluan menjadi tujuan wisata yang menarik, dengan pemandangannya yang indah dan
masih alami.
Kiluan yang sedang berawan. Dengan laguna yang tak terduga |
Selesai menyaksikan
atraksi lumba-lumba, kami kembali ke pulau dan menikmati pantai lagi. Kali ini pantai
sangat ramai. Karena setelah dolphin tour,
rata-rata jukung langsung ke pantai pulau Kiluan. Kegiatan seperti kemarin pun
berulang lagi. Berenang, main pasir, snorkling.
Tegang Senang Saat Pulang
Tengah hari
kami meninggalkan pulau. Saatnya pulang. Semua senang, tapi sudah terbayang
tanjakan kemarin yang curam itu. Benar saja, pas belokan sebelum tanjakan, ada
tiga atau empat mobil yang sedang antre buat bergantian menanjak. Saya lihat
para penumpangnya turun, dan jalan kaki. Idem, kami pun ambil jurus yang sama.
Kecuali eyang dan Keano, semuanya turun. Gak cukup sekali atau dua kali mereka mencoba
untuk melewati tanjakan ini. Rata-rata nyangkut di tengah tanjakan. Susah payah
mobil sampai di ujung tanjakan.
Giliran kami
sekarang. Ambil ancang-ancang, dan gas kencang….. Nyangkut. Mobil berhenti di
tengah-tengah pas legokan tanah berpasir dan batuan. Maju gak bisa, akhirnya mundur
balik lagi ke awal dari bawah. Dicoba lagi
dua sampai tiga kali, tetap saja nyangkut di daerah yang sama. Makin susah,
apalagi lubangnya semakin dalam, dan ada mobil lain juga yang masih nyangkut di
tengah. Eyang dan Keano akhirnya turun,
dan semuanya menunggu di pinggir jalan sambil menonton di tengah tanjakan. Eyang
kakinya berdarah kena batu yang terpental dari ban-ban mobil yang lagi berusaha
menaklukan tanjakan.
“Coba jalan
mundur mas” ada seorang bapak memberikan solusi. “Aduh pak, maju saja repot,
apalagi mundur. Gak bisa lihat jalan, mana lubang mana batu…”, cuma dalam hati
saya menjawab karena gak enak kalau dijawab langsung. Mungkin saja cara bapak itu bisa berhasil, tapi
saya gak ikuti caranya, saya memang gak biasa jalan mundur.
Naik… turun,
naik… turun terus dicoba. Saya mempersilakan ganti supir sama bapak-bapak yang
mau nyoba. Hasilnya sama saja. Sempat dipaksa digas terus di tempat selipnya
ban. Asap putih tebal keluar dari gesekan ban dengan batu. Telanjur ancur, pedal
gas terus saya injak. Tapi mobil tetap gak kemana-mana. Dua ban depan jadi
korban, bocel-bocel. Lepas gas, mobil malah turun dan hampir terperosok ke
parit di pinggir jalan. Maju dan mundur sekarang gak bisa, karena setengah ban
sudah mejeng di pinggir parit.
Dari pada
lebih terperosok ke parit, juga melihat eyang yang semakin 'stress', saya istirahat dulu sambil melihat mobil-mobil lain mencoba
naik. Bala bantuan akhirnya datang. Bapak jukung dan teman-temannya. “Sudah
biasa mas kalau di sini. Bukan sekali dua kali, malah ada yang lebih parah
sampai harus diderek mobil dari atas” kata salah satu di antara mereka. Mereka
membantu mengangkat dan mendorong mobil sampai ke tengah jalan lagi. Setelah
dicoba berulang kali, mobil akhirnya bisa lewat. Dibantu dorongan orang
ramai-ramai dan dicoba sama supir travel kiluan. Lega, anak-anak dan eyang jadi
ceria lepas lagi, karena ternyata eyang sudah berpikir dan sudah siap kalau harus
menginap lagi. Yang tadinya agak tegang, jadi riang dan senang
lagi. Malah tanjakan ini, jadi menambah pengalaman seru di Kiluan. Mungkin
sekarang tanjakan itu sudah mulus, lebih bagus begitu, karena memang cuma satu itu saja
‘kendala’nya.
Terlepas
dari tanjakan yang cukup merepotkan, dan memakan korban dua ban, menikmati
keindahan alam Kiluan memang membuat saya secara sadar dan tanpa paksaan harus
sepakat dan mengamini cerita dan pengalaman para ‘pejalan-penulis profesional’ dengan
pilihan-pilihan kata syahdunya. Seperti "... nyiur melambai bak tarian alam yang
sangat indah, riak-riak ombak bersahut-sahutan dengan gerakan lumba-lumba bak alunan
simfoni merdu, dan akhirnya Kiluan adalah surga tersembunyi serta mahakarya
yang luar biasa". Sekali lagi saya mengaminkan, sebagaimana yang saya rasakan
dan saya lihat dari wajah-wajah kepuasan, kegembiraan anak-anak dan eyang yang
menjadikan kiluan salah satu pengalaman yang menyenangkan dan tetap jadi
obrolan hingga sekarang.
0 komentar